Monday, July 31, 2017

OPINI - Dimuat di Kabar Madura 27 Juli 2017

Maksud hati ingin coba ikut lomba artikel tema parenting yang diadakan kemendikbud. Apa daya, nulisnya mepet banget deadline. Padahal syaratnya harus terlebih dahulu dimuat di media masa atau media online.

Artikel Opini yang  saya kirim, ternyata dimuat di Koran Kabar Madura. Hanya saja, tanggal pemuatannya jauh sudah melewati tanggal DL kirim lomba... Hehehe... memang belum rejekinya... Paling tidak sudah belajar membuat tulisan opini... :D





Peran Keluarga dalam Menanamkan Nilai Kesederhanaan
Oleh. Ruri Irawati

Mencermati berita perkembangan gaya hidup saat ini, sebenarnya membuat saya merasa miris. Mungkin bagi sebagian orang merasa bangga, ketika negara Indonesia dijadikan salah satu tempat launching perdana gawai merek internasional edisi teranyar dengan spek tercanggih. Padahal tiga bulan yang lalu baru saja dikeluarkan seri yang hanya berbeda sedikit spek dengan edisi terbaru bulan ini. Namun, tentu saja, masyarakat yang tak mau ketinggalan trend akan berlomba-lomba melirik gawai edisi teranyar itu.
Perilaku Konsumtif 
Tak dipungkiri fenomena seperti itu hadir di negara kita. Tanpa disadari, masyarakat Indonesia dibuat menjadi pengikut-pengikut trend yang selalu haus akan produk-produk terbaru. Perilaku konsumtif tumbuh subur dan akhirnya menjadi gaya hidup. Konsumsi bukan lagi sebagai pemenuhan kebutuhan, melainkan pemenuhan keinginan yang tak ada habisnya. Lalu, siapakah yang akan diuntungkan? Mereka adalah orang-orang yang memproduksi segala macam bentuk barang untuk memenuhi gaya hidup.
            Tentunya, perilaku konsumtif sangat berdampak negatif pada diri sendiri dan juga orang lain. Untuk memenuhi perilaku konsumtif, pasti memerlukan uang yang banyak. Apabila, uang itu tidak bisa dipenuhi dari cara yang halal, cara cepat yang dilakukan adalah melakukan tindakan tidak terpuji. Yaitu dengan mengambil hak orang lain secara sembunyi-sembunyi seperti korupsi dan mencuri ataupun secara terbuka seperti merampok dan memeras. Jadi sangatlah jelas, perilaku konsumtif merupakan salah satu faktor terjadinya tindak kejahatan.
            Itu sebabnya kita perlu berhati-hati dengan perilaku konsumtif. Salah satu cara melawannya adalah dengan kembali membudayakan pola hidup sederhana. Seperti orangtua dahulu sering katakan, hiduplah secukupnya jangan berlebihan. Sesuatu yang berlebihan tidak akan membuat kita merasa cukup.
Pola hidup seseorang terbentuk atas kebiasaan berperilaku sehari-harinya. Tanpa adanya perubahan yang mendasar, maka pola hidup ini akan terbawa terus sepanjang usia. Begitupun pola hidup sederhana, yang harus ditanamkan semenjak kanak-kanak. Peran keluargalah yang menjadi ujung tombak untuk menanamkan nilai-nilai kesederhanaan pada anak-anak.
Melatih Pola Hidup Sederhana
Anak adalah peniru ulung. Ia akan mencontoh apa yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Begitupun dalam mengenalkan dan menanamkan nilai kesederhanaan pada anak, harus diawali oleh orangtua terlebih dahulu. Pola belanja yang dilakukan oleh orangtua, akan mengendap di pikiran bawah sadar anak, dan cepat atau lambat akan muncul menjadi perilaku mereka.
            Sedapat mungkin, belanja yang saya lakukan adalah berdasarkan kebutuhan. Ketika pakaian mulai terasa sempit, tentu saya perlu membeli baju dengan ukuran yang lebih besar. Ketika gawai sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki, tentu saya harus membeli yang baru untuk memperlancar kebutuhan berkomunikasi. Ketika kebutuhan gizi dalam makanan anak harus terpenuhi, saya tidak bisa mengabaikan dengan alasan hidup sederhana. Namun demikian, semuanya dibeli berdasarkan atas kebutuhan, bukan keinginan semata. Contoh-contoh pemenuhan kebutuhan tersebut adalah yang paling mudah dilihat oleh anak-anak.
Konsep sederhana adalah tercukupinya kebutuhan sehari-hari. Salah satu cara yang saya diterapkan pada anak-anak untuk melatih hidup sederhana adalah dengan melatih mereka untuk mengelola uang sakunya sendiri.
            Pada prakteknya, saya memberikan uang saku pada anak adalah seminggu sekali. Uang saku tersebut digunakan untuk ongkos angkutan umum dan uang jajan. Bagi anak-anak, jajan makanan ringan adalah sesuatu yang wajar. Itu adalah bagian dari kebutuhan mereka. Menjadi tidak wajar, ketika jajan berlebihan, tanpa terkendali. Konsep uang saku terencana, membuat anak dapat belajar mengendalikan keinginan jajan yang berlebihan. Saat uang jajannya habis di awal minggu, maka hari-hari di akhir minggu mereka sudah tidak bisa jajan lagi. Dengan begitu, terpaksa anak harus belajar mengelola keinginan jajannya agar uang bisa dipakai selama seminggu. Konsep ini membuat anak belajar bertanggung jawab dengan apa yang diserahkan padanya.
            Beda lagi apabila secara tiba-tiba mereka memegang uang yang jauh lebih besar dari biasanya, seperti uang lebaran. Pada saat seperti itu, yang saya lakukan adalah membiarkan anak-anak mengelola uangnya sendiri untuk  membelanjakan barang-barang kesukaan mereka. Namun saya tetap mengarahkan, barang yang dibeli sesuai hobby yang mereka sukai. Si sulung dengan hobby membaca dan menulis buku, memang sudah lebih terarah dalam membelanjakan uangnya. Ia memutuskan untuk membeli buku-buku bacaan kesukaannya. Untuknya, buku adalah semacam asupan ide dan inspirasi untuk menghasilkan ceritanya sendiri. Alhamdulillah beberapa tulisannya sudah diterbitkan oleh penerbit mayor. Sedangkan adiknya, ia membeli bahan-bahan untuk membuat mainannya sendiri (Do It Yourself). Dari situ anak-anak dilatih, bahwa uang yang mereka belanjakan, dapat menghasilkan sesuatu. Mereka ikut belajar memproduksi barang, bukan hanya sekedar mengkonsumsi barang.
            Dari hal-hal kecil yang dilakukan secara konsisten, kelak dapat membawa mereka berperilaku hidup sederhana, mempunyai pola pikir produktif, bukan konsumtif. Dengan begitu, dari semenjak kecil anak-anak sudah terbiasa mensyukuri atas kecukupan yang mereka dapatkan dari Yang Maha Pemberi.

-o0o-

Resensi Buku dimuat di Kabar Madura 26 Juli 2017: Memetik Pesan dari Anak Rimba

Sebetulnya naskah resensi ini dikirim sudah cukup lama. Hampir dua bulan tak ada kabar penampakannya di koran. Tiba-tiba, hari Minggu lalu dikirimi pesan inbox dari teman-teman komunitas peresensi penampakan dari naskah resensi salah satu buku serial PECI ini.







Memetik Pesan dari Anak Rimba

   

Judul               :  Pesan Rahasia dari Hutan Rimba
Penulis             :  Wahyu Noor S.
Penerbit           :  Penerbit Lintang
Tahun              :  Desember, 2016
Tebal               :  127 halaman
ISBN               :  978-602-6334-12-1

            Pernah mendengar musik alam? Zen baru saja mendengarnya saat ia diajak ayahnya berlibur ke Jambi. Zen mendengar suara para binatang saling sahut menyahut kompak, serasi dan indah. Suara yang tak pernah ia temui saat berada di rumahnya di kota besar.         
            “Jelajahilah hutan sesukamu, pasti kamu akan mendapatkan banyak pelajaran di sana.” Perkataan dari Om Huda itulah yang selalu diingat oleh Zen. Selama mengisi liburannya, Zen memang ingin mencoba bermain di hutan. Tapi tentu saja kedua orangtuanya tak mengizinkan. Tak disangka saat hendak menangkap kelinci, ternyata Zen bersama kedua teman barunya, Ahmad dan Ruli, benar-benar tersesat di dalam hutan!
            Saat tersesat di dalam hutan, Zen, Ahmad dan Ruli menemui banyak hal. Diantaranya adalah bertemu dengan warga Suku Anak Dalam penghuni kedalaman rimba. Zen teringat, mereka adalah anak-anak rimba yang pernah Zen temui sebelumnya di desa tempat ia tinggal berlibur. Anak-anak warga Suku Anak Dalam yang tidak berbaju, membawa tombak dan parang dan mencari makan ke desa.
            Awalnya Zen dan teman-temannya merasa takut pada warga Suku Anak Dalam itu. Tapi ternyata setelah beberapa waktu Zen dan teman-temannya berkumpul bersama warga Suku Anak Dalam itu, Zen merasa bahwa mereka tidaklah begitu menakutkan. Bahkan Zen, Ahmad dan Ruli akhirnya mengetahui kalau keberadaan Suku Anak Dalam itu akan terancam punah apabila hutan tempat tinggal mereka ditebang atau dibakar oleh warga desa dan pemerintah. Saat Zen, Ahmad dan Ruli bisa keluar dari dalam huhtan, mereka membawa pesan dari warga Suku Anak Dalam, yang harus mereka sampaikan pada orang-orang yang tinggal di luar hutan.
            Selain kisah petualangan ketiga anak Zen, Ahmad dan Ruli yang tersesat di dalam hutan, ada satu lagi karakter yang cukup menonjol di dalam cerita. Karakter Ayah Ruli, yang digambarkan mempunyai sikap keras pada Ruli, anaknya, namun akhirnya tersadar saat anaknya menghilang tersesat di dalam hutan. Dari karakter Ayah Ruli, penulis ingin menyelipkan pesan bahwa terkadang kehilangan membuat seseorang menyadari arti keberadaan dari orang-orang terdekat di sekelilingnya.     
            Melalui cerita ini, penulis banyak menyampaikan pengetahuan tentang keberadaan Suku Anak Dalam, tentang cara hidup mereka serta masalah-masalah yang mereka alami. Penulis mengemasnya dalam cerita seru dan ramah untuk anak. Alurnya yang menarik, membuat pembaca seakan ikut terbawa dalam ketegangan memasuki rimba berlantara.  
            Di tengah serbuan teknologi gadget yang kian mudah untuk diakses, buku ini sangat bagus untuk dihadirkan di tengah keluarga terutama untuk anak-anak. Tentunya buku ini dapat mengingatkan mereka, jikalau alam dapat memberikan cerita yang asyik dan seru untuk dijelajahi.