Monday, January 12, 2015

Gado-Gado Majalah Femina

Alhamdulillah... senang tak terkira waktu dapat sms yang  isinya menanyakan  apakah naskah berjudul  Omelan Manis orisinal dan belum  dimuat di media manapun.

Beneran seneng... pengalaman pertama, dapat konfirmasi tulisan bakal dimuat  di media cetak. Rasanya sih berbunga-bunga... Pengennya senyum-senyum sendiri sambil baca ulang tulisan yang udah dikirim plus ngebayangin, seperti apa penampakannya di majalah nanti... hihihi... norak yah..
Gapapa deh...norak-nya sekali sekali ini.

Dan, beginilah bentuknya penampakannya... 




Majalah Femina No. 51/XLII 27 
Terbit Des 2014 - 7 Jan 2015


Omelan Manis


Omelan manis… Apa ada yang seperti itu? Dimana-mana, namanya orang mengomel pasti tak pernah ada manis-manisnya. Gerutuan dengan bibir manyun-manyun, kadang ditambah mata sedikit melotot, lengkap sudah. Beberapa wanita, apalagi seorang ibu dengan anak-anak yang masih kecil-kecil, mungkin pernah melakukannya.
Saya adalah seorang tipe istri dan ibu pengomel. Sepertinya sifat itu diturunkan dari ibu sewaktu saya dan kakak masih kecil. Tapi belakangan setelah kami dewasa, omelan ibu berkurang dengan sendirinya, walaupun tak sepenuhnya hilang. Sewaktu kecil, menghadapi omelan ibu setiap harinya terasa seperti mendengar burung berkicau setiap pagi. Hampir tidak pernah absen. Sekarang, ketika saya menjadi ibu dengan dua anak yang masih duduk di bangku SD dan seorang bayi, kebiasaan itu ganti saya sandang.
Mungkin sekarang hal yang sama dihadapi oleh suami dan ketiga putri saya, kecuali si bayi tentunya. Mendengar omelan saya, seakan sudah menjadi sarapan setiap pagi. Beberapa ada yang dianggap serius, sebagian lagi seakan masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Saya paham sekali itu. Dulupun saya pernah berada di posisi seperti mereka.
Kalau dipikir-pikir, sebetulnya penyebab omelan itu meluncur bukanlah ha-hal yang terlalu serius. Masalah-masalah seputaran kebiasaan jelek di dalam rumah, sedikit banyak menambah volume pekerjaan rumah tangga. Kebiasaan kecil tapi lumayan merepotkan. Apalagi untuk saya, yang memutuskan untuk tidak dibantu oleh asisten rumah tangga.
Seperti kebiasaan suami yang tidak mau memasukkan kaos kaki kotornya ke dalam wadah cucian kotor atau ketika tulang-tulang ayam yang masih tersisa di piring langsung diletakkan di bak cucian piring padahal ada tempat sampah persis dibawahnya. Ada lagi kebiasaan si sulung yang selalu menaruh buku-buku atau surat-surat penting dari sekolahnya di mana-mana. Ketika perlu untuk dibaca kembali, seisi rumah harus ikut heboh untuk mencarinya. Juga kebiasaan adiknya yang sering menaruh handuk di sofa keluarga ketimbang menjemur di tempat yang sudah disediakan. Dan masih banyak  kebiasaan lainnya yang menurut saya harus selalu diingatkan.
Pada awalnya niat saya hanya mengingatkan saja. Dan saat diingatkanpun, mereka menjawab seakan tahu kalau kebiasaan itu adalah salah. Sehari dua hari mereka ingat, tapi hari-hari berikutnya kebiasaan itu berulang lagi. Kalau sudah begitu, omelan dan gerutuanlah yang keluar.
Kadang lucu juga mendengar tanggapan mereka dengan omelan mamanya.
“Hayo, hari ini siapa ya yang diomelin Mama?” canda si sulung.
“Kayaknya bagian Ayah deh… Ayah lupa naruh pisau di kandang burung buat potong pisang. Eiiits… jangan ngomel dulu Ma, segera Ayah kembalikan!” Saya tertawa dalam hati, padahal pisau itu belum saya butuhkan di dapur.
Namun, ada satu waktu ketika saya berhenti mengomel. Itu terjadi ketika suatu hari suami saya dengan tidak sengaja melontarkan kata-kata yang membuat saya tersinggung. Kali itu saya tidak mengganggap itu adalah hal yang remeh temeh. Perasaan saya sedih tak terkira sehingga tak terpikirkan lagi tentang hal-hal kecil seputaran kebiasaan-kebiasaan jelek suami dan anak-anak. Saya begitu tenggelam dalam kesedihan saya. Pekerjaan rumah tangga saya lakukan seperti biasanya, namun kali itu saya kerjakan dengan diam, tanpa suara. Awalnya anak-anak merasa senang karena omelan yang biasanya beredar tiba-tiba menghilang. Hari-hari berikutnya, mereka gelisah. Aura di dalam rumah berubah, menjadi tidak nyaman. Tak seriang ketika Mama sering mengomel. Suamipun sudah berusaha meminta maaf, karena kata-kata yang kemarin dia ucapkan itu bukan bermaksud seperti apa yang saya pikirkan. Tapi luka di hati tak semudah itu untuk dihilangkan.
“Ayah, Mama kenapa sih kok jadi pendiam gitu?” tanya si adik.
“Sttt… Mama masih sakit dek. Ayah juga ingin Mama bisa cepat sembuh. Ayah kangen diomelin Mama.”
“Iya Yah… suasana rumah jadi nggak enak kalau Mama sakit,” si sulungpun ikut berkomentar.
Mendengar percakapan mereka, sedikit terobatilah kesedihan saya. Tak boleh saya biarkan berlarut-larut, akhirnya saya memutuskan.
“Ini mainan siapa ya, yang nggak dikembalikan ke tempatnya? Tuh jadinya keinjak Mama kan… Duh, surat undangan arisan kemarin kamu simpan dimana, mbak? Ayah, kok gunting dapur menghilang lagi?”
Mereka tergopoh-gopoh mendengar omelan Mamanya lagi.
“Horeee… Mama sudah mengomel lagi, tandanya Mama sudah sehat!” seru si sulung girang.
“Makasih ya, Ma, omelan Mama manis deh…,” kata Ayah sambil mengedipkan matanya.


-o0o-