Alhamdulillah... senang tak terkira waktu dapat sms yang isinya menanyakan apakah naskah berjudul Omelan Manis orisinal dan belum dimuat di media manapun.
Beneran seneng... pengalaman pertama, dapat konfirmasi tulisan bakal dimuat di media cetak. Rasanya sih berbunga-bunga... Pengennya senyum-senyum sendiri sambil baca ulang tulisan yang udah dikirim plus ngebayangin, seperti apa penampakannya di majalah nanti... hihihi... norak yah..
Gapapa deh...norak-nya sekali sekali ini.
Dan, beginilah bentuknya penampakannya...
Beneran seneng... pengalaman pertama, dapat konfirmasi tulisan bakal dimuat di media cetak. Rasanya sih berbunga-bunga... Pengennya senyum-senyum sendiri sambil baca ulang tulisan yang udah dikirim plus ngebayangin, seperti apa penampakannya di majalah nanti... hihihi... norak yah..
Gapapa deh...norak-nya sekali sekali ini.
Dan, beginilah bentuknya penampakannya...
Majalah Femina No. 51/XLII 27
Terbit Des 2014 - 7 Jan 2015
Omelan Manis
Omelan manis… Apa ada yang seperti itu?
Dimana-mana, namanya orang mengomel pasti tak pernah ada manis-manisnya.
Gerutuan dengan bibir manyun-manyun, kadang ditambah mata sedikit melotot,
lengkap sudah. Beberapa wanita, apalagi seorang ibu dengan anak-anak yang masih
kecil-kecil, mungkin pernah melakukannya.
Saya adalah seorang tipe istri dan ibu pengomel.
Sepertinya sifat itu diturunkan dari ibu sewaktu saya dan kakak masih kecil.
Tapi belakangan setelah kami dewasa, omelan ibu berkurang dengan sendirinya, walaupun
tak sepenuhnya hilang. Sewaktu kecil, menghadapi omelan ibu setiap harinya
terasa seperti mendengar burung berkicau setiap pagi. Hampir tidak pernah
absen. Sekarang, ketika saya menjadi ibu dengan dua anak yang masih duduk di
bangku SD dan seorang bayi, kebiasaan itu ganti saya sandang.
Mungkin sekarang hal yang sama dihadapi
oleh suami dan ketiga putri saya, kecuali si bayi tentunya. Mendengar omelan
saya, seakan sudah menjadi sarapan setiap pagi. Beberapa ada yang dianggap
serius, sebagian lagi seakan masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Saya
paham sekali itu. Dulupun saya pernah berada di posisi seperti mereka.
Kalau dipikir-pikir, sebetulnya penyebab
omelan itu meluncur bukanlah ha-hal yang terlalu serius. Masalah-masalah seputaran
kebiasaan jelek di dalam rumah, sedikit banyak menambah volume pekerjaan rumah
tangga. Kebiasaan kecil tapi lumayan merepotkan. Apalagi untuk saya, yang
memutuskan untuk tidak dibantu oleh asisten rumah tangga.
Seperti kebiasaan suami yang tidak mau
memasukkan kaos kaki kotornya ke dalam wadah cucian kotor atau ketika
tulang-tulang ayam yang masih tersisa di piring langsung diletakkan di bak
cucian piring padahal ada tempat sampah persis dibawahnya. Ada lagi kebiasaan si sulung yang selalu
menaruh buku-buku atau surat-surat penting dari sekolahnya di mana-mana. Ketika
perlu untuk dibaca kembali, seisi rumah harus ikut heboh untuk mencarinya. Juga
kebiasaan adiknya yang sering menaruh handuk di sofa keluarga ketimbang
menjemur di tempat yang sudah disediakan. Dan masih banyak kebiasaan lainnya yang menurut saya harus
selalu diingatkan.
Pada awalnya niat saya hanya mengingatkan
saja. Dan saat diingatkanpun, mereka menjawab seakan tahu kalau kebiasaan itu adalah
salah. Sehari dua hari mereka ingat, tapi hari-hari berikutnya kebiasaan itu
berulang lagi. Kalau sudah begitu, omelan dan gerutuanlah yang keluar.
Kadang lucu juga mendengar tanggapan
mereka dengan omelan mamanya.
“Hayo, hari ini siapa ya yang diomelin
Mama?” canda si sulung.
“Kayaknya bagian Ayah deh… Ayah lupa
naruh pisau di kandang burung buat potong pisang. Eiiits… jangan ngomel dulu
Ma, segera Ayah kembalikan!” Saya tertawa dalam hati, padahal pisau itu belum
saya butuhkan di dapur.
Namun, ada satu waktu ketika saya
berhenti mengomel. Itu terjadi ketika suatu hari suami saya dengan tidak
sengaja melontarkan kata-kata yang membuat saya tersinggung. Kali itu saya
tidak mengganggap itu adalah hal yang remeh temeh. Perasaan saya sedih tak
terkira sehingga tak terpikirkan lagi tentang hal-hal kecil seputaran
kebiasaan-kebiasaan jelek suami dan anak-anak. Saya begitu tenggelam dalam
kesedihan saya. Pekerjaan rumah tangga saya lakukan seperti biasanya, namun
kali itu saya kerjakan dengan diam, tanpa suara. Awalnya anak-anak merasa
senang karena omelan yang biasanya beredar tiba-tiba menghilang. Hari-hari
berikutnya, mereka gelisah. Aura di dalam rumah berubah, menjadi tidak nyaman.
Tak seriang ketika Mama sering mengomel. Suamipun sudah berusaha meminta maaf,
karena kata-kata yang kemarin dia ucapkan itu bukan bermaksud seperti apa yang
saya pikirkan. Tapi luka di hati tak semudah itu untuk dihilangkan.
“Ayah, Mama kenapa sih kok jadi pendiam
gitu?” tanya si adik.
“Sttt… Mama masih sakit dek. Ayah juga
ingin Mama bisa cepat sembuh. Ayah kangen diomelin Mama.”
“Iya Yah… suasana rumah jadi nggak enak
kalau Mama sakit,” si sulungpun ikut berkomentar.
Mendengar percakapan mereka, sedikit
terobatilah kesedihan saya. Tak boleh saya biarkan berlarut-larut, akhirnya
saya memutuskan.
“Ini mainan siapa ya, yang nggak
dikembalikan ke tempatnya? Tuh jadinya keinjak Mama kan … Duh, surat undangan arisan kemarin kamu simpan
dimana, mbak? Ayah, kok gunting dapur menghilang lagi?”
Mereka tergopoh-gopoh mendengar omelan
Mamanya lagi.
“Horeee… Mama sudah mengomel lagi,
tandanya Mama sudah sehat!” seru si sulung girang.
“Makasih ya, Ma, omelan Mama manis deh…,”
kata Ayah sambil mengedipkan matanya.
-o0o-