Monday, July 31, 2017

OPINI - Dimuat di Kabar Madura 27 Juli 2017

Maksud hati ingin coba ikut lomba artikel tema parenting yang diadakan kemendikbud. Apa daya, nulisnya mepet banget deadline. Padahal syaratnya harus terlebih dahulu dimuat di media masa atau media online.

Artikel Opini yang  saya kirim, ternyata dimuat di Koran Kabar Madura. Hanya saja, tanggal pemuatannya jauh sudah melewati tanggal DL kirim lomba... Hehehe... memang belum rejekinya... Paling tidak sudah belajar membuat tulisan opini... :D





Peran Keluarga dalam Menanamkan Nilai Kesederhanaan
Oleh. Ruri Irawati

Mencermati berita perkembangan gaya hidup saat ini, sebenarnya membuat saya merasa miris. Mungkin bagi sebagian orang merasa bangga, ketika negara Indonesia dijadikan salah satu tempat launching perdana gawai merek internasional edisi teranyar dengan spek tercanggih. Padahal tiga bulan yang lalu baru saja dikeluarkan seri yang hanya berbeda sedikit spek dengan edisi terbaru bulan ini. Namun, tentu saja, masyarakat yang tak mau ketinggalan trend akan berlomba-lomba melirik gawai edisi teranyar itu.
Perilaku Konsumtif 
Tak dipungkiri fenomena seperti itu hadir di negara kita. Tanpa disadari, masyarakat Indonesia dibuat menjadi pengikut-pengikut trend yang selalu haus akan produk-produk terbaru. Perilaku konsumtif tumbuh subur dan akhirnya menjadi gaya hidup. Konsumsi bukan lagi sebagai pemenuhan kebutuhan, melainkan pemenuhan keinginan yang tak ada habisnya. Lalu, siapakah yang akan diuntungkan? Mereka adalah orang-orang yang memproduksi segala macam bentuk barang untuk memenuhi gaya hidup.
            Tentunya, perilaku konsumtif sangat berdampak negatif pada diri sendiri dan juga orang lain. Untuk memenuhi perilaku konsumtif, pasti memerlukan uang yang banyak. Apabila, uang itu tidak bisa dipenuhi dari cara yang halal, cara cepat yang dilakukan adalah melakukan tindakan tidak terpuji. Yaitu dengan mengambil hak orang lain secara sembunyi-sembunyi seperti korupsi dan mencuri ataupun secara terbuka seperti merampok dan memeras. Jadi sangatlah jelas, perilaku konsumtif merupakan salah satu faktor terjadinya tindak kejahatan.
            Itu sebabnya kita perlu berhati-hati dengan perilaku konsumtif. Salah satu cara melawannya adalah dengan kembali membudayakan pola hidup sederhana. Seperti orangtua dahulu sering katakan, hiduplah secukupnya jangan berlebihan. Sesuatu yang berlebihan tidak akan membuat kita merasa cukup.
Pola hidup seseorang terbentuk atas kebiasaan berperilaku sehari-harinya. Tanpa adanya perubahan yang mendasar, maka pola hidup ini akan terbawa terus sepanjang usia. Begitupun pola hidup sederhana, yang harus ditanamkan semenjak kanak-kanak. Peran keluargalah yang menjadi ujung tombak untuk menanamkan nilai-nilai kesederhanaan pada anak-anak.
Melatih Pola Hidup Sederhana
Anak adalah peniru ulung. Ia akan mencontoh apa yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Begitupun dalam mengenalkan dan menanamkan nilai kesederhanaan pada anak, harus diawali oleh orangtua terlebih dahulu. Pola belanja yang dilakukan oleh orangtua, akan mengendap di pikiran bawah sadar anak, dan cepat atau lambat akan muncul menjadi perilaku mereka.
            Sedapat mungkin, belanja yang saya lakukan adalah berdasarkan kebutuhan. Ketika pakaian mulai terasa sempit, tentu saya perlu membeli baju dengan ukuran yang lebih besar. Ketika gawai sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki, tentu saya harus membeli yang baru untuk memperlancar kebutuhan berkomunikasi. Ketika kebutuhan gizi dalam makanan anak harus terpenuhi, saya tidak bisa mengabaikan dengan alasan hidup sederhana. Namun demikian, semuanya dibeli berdasarkan atas kebutuhan, bukan keinginan semata. Contoh-contoh pemenuhan kebutuhan tersebut adalah yang paling mudah dilihat oleh anak-anak.
Konsep sederhana adalah tercukupinya kebutuhan sehari-hari. Salah satu cara yang saya diterapkan pada anak-anak untuk melatih hidup sederhana adalah dengan melatih mereka untuk mengelola uang sakunya sendiri.
            Pada prakteknya, saya memberikan uang saku pada anak adalah seminggu sekali. Uang saku tersebut digunakan untuk ongkos angkutan umum dan uang jajan. Bagi anak-anak, jajan makanan ringan adalah sesuatu yang wajar. Itu adalah bagian dari kebutuhan mereka. Menjadi tidak wajar, ketika jajan berlebihan, tanpa terkendali. Konsep uang saku terencana, membuat anak dapat belajar mengendalikan keinginan jajan yang berlebihan. Saat uang jajannya habis di awal minggu, maka hari-hari di akhir minggu mereka sudah tidak bisa jajan lagi. Dengan begitu, terpaksa anak harus belajar mengelola keinginan jajannya agar uang bisa dipakai selama seminggu. Konsep ini membuat anak belajar bertanggung jawab dengan apa yang diserahkan padanya.
            Beda lagi apabila secara tiba-tiba mereka memegang uang yang jauh lebih besar dari biasanya, seperti uang lebaran. Pada saat seperti itu, yang saya lakukan adalah membiarkan anak-anak mengelola uangnya sendiri untuk  membelanjakan barang-barang kesukaan mereka. Namun saya tetap mengarahkan, barang yang dibeli sesuai hobby yang mereka sukai. Si sulung dengan hobby membaca dan menulis buku, memang sudah lebih terarah dalam membelanjakan uangnya. Ia memutuskan untuk membeli buku-buku bacaan kesukaannya. Untuknya, buku adalah semacam asupan ide dan inspirasi untuk menghasilkan ceritanya sendiri. Alhamdulillah beberapa tulisannya sudah diterbitkan oleh penerbit mayor. Sedangkan adiknya, ia membeli bahan-bahan untuk membuat mainannya sendiri (Do It Yourself). Dari situ anak-anak dilatih, bahwa uang yang mereka belanjakan, dapat menghasilkan sesuatu. Mereka ikut belajar memproduksi barang, bukan hanya sekedar mengkonsumsi barang.
            Dari hal-hal kecil yang dilakukan secara konsisten, kelak dapat membawa mereka berperilaku hidup sederhana, mempunyai pola pikir produktif, bukan konsumtif. Dengan begitu, dari semenjak kecil anak-anak sudah terbiasa mensyukuri atas kecukupan yang mereka dapatkan dari Yang Maha Pemberi.

-o0o-

Resensi Buku dimuat di Kabar Madura 26 Juli 2017: Memetik Pesan dari Anak Rimba

Sebetulnya naskah resensi ini dikirim sudah cukup lama. Hampir dua bulan tak ada kabar penampakannya di koran. Tiba-tiba, hari Minggu lalu dikirimi pesan inbox dari teman-teman komunitas peresensi penampakan dari naskah resensi salah satu buku serial PECI ini.







Memetik Pesan dari Anak Rimba

   

Judul               :  Pesan Rahasia dari Hutan Rimba
Penulis             :  Wahyu Noor S.
Penerbit           :  Penerbit Lintang
Tahun              :  Desember, 2016
Tebal               :  127 halaman
ISBN               :  978-602-6334-12-1

            Pernah mendengar musik alam? Zen baru saja mendengarnya saat ia diajak ayahnya berlibur ke Jambi. Zen mendengar suara para binatang saling sahut menyahut kompak, serasi dan indah. Suara yang tak pernah ia temui saat berada di rumahnya di kota besar.         
            “Jelajahilah hutan sesukamu, pasti kamu akan mendapatkan banyak pelajaran di sana.” Perkataan dari Om Huda itulah yang selalu diingat oleh Zen. Selama mengisi liburannya, Zen memang ingin mencoba bermain di hutan. Tapi tentu saja kedua orangtuanya tak mengizinkan. Tak disangka saat hendak menangkap kelinci, ternyata Zen bersama kedua teman barunya, Ahmad dan Ruli, benar-benar tersesat di dalam hutan!
            Saat tersesat di dalam hutan, Zen, Ahmad dan Ruli menemui banyak hal. Diantaranya adalah bertemu dengan warga Suku Anak Dalam penghuni kedalaman rimba. Zen teringat, mereka adalah anak-anak rimba yang pernah Zen temui sebelumnya di desa tempat ia tinggal berlibur. Anak-anak warga Suku Anak Dalam yang tidak berbaju, membawa tombak dan parang dan mencari makan ke desa.
            Awalnya Zen dan teman-temannya merasa takut pada warga Suku Anak Dalam itu. Tapi ternyata setelah beberapa waktu Zen dan teman-temannya berkumpul bersama warga Suku Anak Dalam itu, Zen merasa bahwa mereka tidaklah begitu menakutkan. Bahkan Zen, Ahmad dan Ruli akhirnya mengetahui kalau keberadaan Suku Anak Dalam itu akan terancam punah apabila hutan tempat tinggal mereka ditebang atau dibakar oleh warga desa dan pemerintah. Saat Zen, Ahmad dan Ruli bisa keluar dari dalam huhtan, mereka membawa pesan dari warga Suku Anak Dalam, yang harus mereka sampaikan pada orang-orang yang tinggal di luar hutan.
            Selain kisah petualangan ketiga anak Zen, Ahmad dan Ruli yang tersesat di dalam hutan, ada satu lagi karakter yang cukup menonjol di dalam cerita. Karakter Ayah Ruli, yang digambarkan mempunyai sikap keras pada Ruli, anaknya, namun akhirnya tersadar saat anaknya menghilang tersesat di dalam hutan. Dari karakter Ayah Ruli, penulis ingin menyelipkan pesan bahwa terkadang kehilangan membuat seseorang menyadari arti keberadaan dari orang-orang terdekat di sekelilingnya.     
            Melalui cerita ini, penulis banyak menyampaikan pengetahuan tentang keberadaan Suku Anak Dalam, tentang cara hidup mereka serta masalah-masalah yang mereka alami. Penulis mengemasnya dalam cerita seru dan ramah untuk anak. Alurnya yang menarik, membuat pembaca seakan ikut terbawa dalam ketegangan memasuki rimba berlantara.  
            Di tengah serbuan teknologi gadget yang kian mudah untuk diakses, buku ini sangat bagus untuk dihadirkan di tengah keluarga terutama untuk anak-anak. Tentunya buku ini dapat mengingatkan mereka, jikalau alam dapat memberikan cerita yang asyik dan seru untuk dijelajahi.

             

Sayembara Penulisan Bahan Bacaan Anak Dalam Rangka Gerakan Nasional Litersi 2017 Provinsi Jawa Barat

Tahun ini, gerakan literasi begitu kencang disuarakan. Di beranda FB, tersebar flyer-flyer lomba penulisan bahan bacaan anak yang diadakan kemdikbud dari tingkat pusat sampai masing-masing provinsi. Dan tentunya untuk lomba di tingkat provinsi harus membawa

Di tingkat pusat diadakan lomba penyusunan buku bahan bacaan anak, sementara untuk khusus provinsi Jawa Barat, lomba yang diadakan adalah lomba kepenulisan cerpen anak. Naskah-naskah pemenang akan digabungkan menjadi buku.



Berhubung syaratnya membuat cerpen, tertariklah saya untuk ikut meramaikan lomba itu. Setelah membaca syarat di flyer, rupanya masih belum tergambar jelas bentuk naskah yang harus dikirimkan.
Kasak kusuk lah saya, tanya sana tanya sini... Salah satunya mbak Yayan Harari, yang sempat menjadi salah satu pemenang tingkat pusat. Dapatlah saya gambaran bentuk naskah yang akan ditulis... (makasih ya mbak Yayan... :)

Tapi masih bingung juga, bolehkan mengirim bentuk non fiksi? Bertanyalah saya ke panitia via sms. Dua jawaban yang berbeda membuat saya tambah bingung lagi. Bertanyalah saya pada Kang Iwok, penulis yang berdomisili di Jawa Barat dan sepertinya berminat untuk mengikuti lomba. Dari Kang Iwok saya mendapatkan jawaban untuk membuat cerita fiksi saja. Hatur nuhun, Kang Iwok :)

Sebetulnya saya sempat menulis sedikit naskah non fiksi kisah tokoh terkenal Jawa Barat. Tapi karena nggak dapat feel-nya, belum sempat selesai, naskah itu saya tinggalkan. Menulislah saya cerita anak fiksi seperti yang biasa saya tulis untuk majalah.

Ide cerita pertama, saya ambil dari orang-orangan sawah, yang kalau di daerah Sunda disebut bebegig sawah. Terus terang, saya suka dengan konsep dari bebegig sawah. Dibuat untuk menjaga padi di sawah dengan cara menakut-nakuti burung pengganggu padi. Namun  supaya cerita menjadi agak berbeda, saya membuat POV dari si bebegig sawah yang karakternya sedikit bandel, cerdik dan suka memprovokasi sahabat kecilnya, Ilham. Cerita ini diberi judul Ki Begik Penjaga Sawah dengan tema perubahan sosial masyarakat pedesaan dan perkotaan. Diringi doa, terbanglah Ki Begik menuju Bandung dan mendarat di meja juri. 

Lega dan puas setelah mengirim via pos, sampai rumah tetiba terpikirkan ide baru. Masih dengan POV benda, saya mengetik lagi naskah tentang rumah panggung (rumah adat sunda) yang suka bercerita. Namanya Imah. Ia bercerita tentang dirinya yang menemani dan menaungi Nini Amih, seorang perempuan tua yang tinggal sendirian saja. Sesuai temanya, rumah tradisional sunda, naskah itu saya beri judul Imah Nini Amih. Bismillah.... Syuuut... naskah kedua pun melesat menuju tempat panitia lomba. 

Tanggal 14 pun tiba. Sampai siang hari, saya tunggu pengumuman di beranda FB tak kunjung ada berita. Penasaran, saya buka web http://balaibahasajabar.web.id. Dan ternyata, hasilnya penilaian juri sudah diposting di sana. Daan... alhamdulillah, baik Ki Begik maupun Imah, keduanya membawa kabar gembira. Naskah itu berhasil masuk menjadi pemenang favorit no.9 dan 13. 

 

Senangnya lagi, melihat nama teman-teman penulis yang dikenal, muncul disalam daftar. Ada Kang Iwok yang menjadi pemenang harapan 1 dan ada teman MJ mbak Hamidah Jauhary yang juga menjadi pemenang favorit untuk 2 naskah. Dengan senang hati saya pun menyampaikan kabar gembira pada mereka.

Di tangggal 28 Juli, saya pun berangkat menuju kantor Balai Bahaa Jawa Barat untuk mengambil hadiah. Kata panitia, hadiah harus diambil langsung karena tdak bisa ditransfer atau dikirim. Alhamdulillah di Bandung saya masih sempat bertemu dengan Kang Iwok. Saya memesan dua bukunya yang baru saja terbit plus tanda tangannya. Keasyikan ngobrol, terus pulang ke rumah masing-masing dan lupa deh foto-foto bareng penulis senior. Mudah-mudahan lain waktu ada kesempatan lagi pertemuan dengan penulis-penulis produktif. Buat saya, itu menginspirasi.

Dan ini dia oleh-olehnya dari Bandung...





Selanjutnya, tinggal menunggu naskah-naskah terpilih itu dibukukan dan disebar ke SD-SD di Jawa Barat. Semoga Ki Begik dan Imah bisa disukai dan bermanfaat banyak untuk anak-anak khususnya di Jawa Barat. Aamiin...



Wednesday, July 12, 2017

Resensi Buku dimuat di Kabar Madura 05 Juli 2017: Menyelami Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram

Buku ini bacaannya pak misua, yang kebetulan tergeletak di meja kamar. Nggak sengaja ikutan baca, ternyata banyak nilai-nilai sederhana yang bisa diambil dari buku ini.

Berikut cacatan kecilnya, dibuat semacam resesnsi. Coba kirim ke media, alhamdulillah dimuat di Kabar Madura.



Menyelami Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram


Judul               :  Ki Ageng Suryomentaram, Sang Plato dari Jawa
Penulis             :  Ratih Sarwiyono
Penerbit           :  Cemerlang Publishing
Tahun              :  Cetakan Pertama 2017
Tebal               :  200 halaman
ISBN               :  978-602-1348-55-0

            Sebagai seorang pangeran dari istana Kraton Yogyakarta, RM. Kudiarmaji yang kemudian diberi gelar Pangeran Suryomentaram, selalu hidup dalam kegelisahan bathin yang luar biasa. Sekalipun ia kaya dan berkuasa, namun itu tidak membuat ia merasa menjadi manusia normal. Sebagaimana Pengeran Sidharta Gautama, ia merasa terkungkung oleh kemegahan dan kemewahan hingga tidak bisa merasakan kehidupan yang sesungguhnya. 
            Untuk menemukan jati dirinya, keluarlah Pangeran Suryomentaram dari kraton dan tinggal di desa Bringin, Salatiga, sebagai petani biasa. Di desa itu, ia lebih bebas berpikir dan merenung. Bahkan saat ia mengayunkan cangkul di ladang, terpikir olehnya akan kemurahan Tuhan yang melimpahkan kesuburan pada manusia. Sehingga tugas dirinya sebagai manusia adalah dapat mengolah tanah subur itu dengan ilmu dan ketekunan hingga menghasilkan bahan makanan yang nikmat bagi dirinya dan sesama manusia lainnya (halaman 12).
            Pemikiran-pemikiran KiAgeng Suryomentaram sungguh berbeda dengan pemikiran tokoh-tokoh budaya lain di masa itu yang lebih percaya akan mitos. Pemikiran filosofisnya rasional jauh dari mistisisme, sebagaimana Plato pemikir kritis dari Yunani abad 3 SM. Seorang ahli sejarah dari Universitas Paris bernama Marcell Boneff bahkan telah mempelajari pemikiran Ki Ageng secara lengkap, kemudian  menulis buku dalam bahasa Perancis, berjudul ‘Ki Ageng  Suryomentaram, Prince et Philoshope Javanais’ (halaman 13).     
            Ki  Ageng Suryomentaram meninggalkan sebuah warisan yang sangat berharga, yaitu kawruh pangawikan pribadi, atau  kawruh jiwa. Sebuah pengetahuan agar manusia dapat melepaskan segala atribut duniawi sehingga dapat menemukan kebahagiaan dan ketentraman yang sejati. Buku ini ditulis untuk menyampaikan tentang ilmu kebahagiaan atau kawruh beja yang dirumuskan oleh Ki  Ageng Suryomentaram yang sempat dicatat oleh murid-muridnya, para aktivis Taman Siswa.
            Menurut Ki Ageng, benih dari ilmu pengetahuan adalah  “Rasa” di dalam jiwa manusia (halaman 27). Untuk mendapatkan kebahagiaan diawali dengan pemahaman tentang pengetahuan diri sebagai manusia yang memiliki “rasa”.  
            Pada dasarnya, manusia itu semuanya sama, mempunyai “rasa” sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah, demikian seterusnya (halaman 68). “Rasa” itu dialami oleh seluruh manusia dan bersifat abadi sepanjang hidup. Apabila manusia dapat memahami sifat dari “rasa” itu, maka bebaslah ia dari penderitaan iri hati dan sombong dan kemudian bisa masuk surga ketentraman. Artinya dalam segala hal, ia akan bertindak secukupnya, semestinya dan sebenarnya (halaman 82). Keinginan-keinginan manusia yang tidak terlaksana pun, dapat terlepas dari penyesalan dan kekhawatiran.
            Ki Ageng Suryomentaram menyebut kesadaran manusia terbagi menjadi 4 dimensi. Dimensi pertama adalah tukang rekam. Manusia merekam hal-hal di luar diri melalui inderanya dan hal-hal di dalam diri melalui “rasa”. Kesadaran dimensi kedua adalah menganggap rekaman-rekaman itu (kumpulan informasi) sebagai dirinya. Sedangkan dimensi ketiga yaitu menganggap egonya sebagai diri. Dan yang terakhir adalah kesadaran bahwa dirinya bukan sekedar ego, tetapi menjadi Pengawas atau Saksi dari setiap kejadian yang dialaminya (halaman 117-118). Dimensi ke-empat itulah yang membuat derajat manusia bertambah tinggi karena ia akan selalu merasa menjadi saksi atas perbuatan-perbuatannya. Apabila dimensi ke-empat sudah tercapai, maka manusia akan merasakan kedamaian dalam menjalani kehidupannya.    

            Dalam buku ini, penulis berusaha memaparkan pemikiran-pemikiran filosofis sederhana Ki Ageng Suryomentaram melalui contoh-contoh tindakan, sehingga pembaca dapat dengan mudah memahaminya. Bahkan Marcell Boneff pun mengakui, bahwa pemikiran Ki Ageng Suryomentaram sangat penting sebagai pencerahan dalam  membentuk  pribadi yang cerdas dan cendekia, tanpa kehilangan kepribadian timurnya. 

Wednesday, July 5, 2017

Resensi Buku dimuat di Radar Sampit 02 Juli 2017: Menangkap Imajinasi Anak yang Tak Terbatas

Buku KKPK Luks Magic Cookies ini adalah buku cetakan ke sekian kalinya dari pertama cetak tahun 2010. Itu sebabnya di cover buku disebut sebagai Gold Edition.

Saya cukup penasaran, dengan isi buku cerita anak yang dicetak berulang-ulang. Ternyata, setelah membuka buku ini, memang tak heran, mengapa buku KKPK ini menjadi best seller.

Ide-ide cerita yang ada di dalamnya membuat saya tercenung. Imajinasi anak memang ajaib! Saya, sebagai orang dewasa yang senang menulis cerita anak, banyak belajar dari ide-ide cerita di buku ini. Salut untuk kakak-kakak editor Penerbit Mizan, yang sudah menangkap dan memberi wadah untuk ide-ide ajaib para penulis cilik KKPK.

Sedikit ulasan buku ini, dimuat di Radar Sampit 02 Juli 2017






Menangkap Imajinasi Anak yang Tak Terbatas


Judul               :  Magic Cookies
Penulis             :  Muthia Fadhila Khairunnisa (Thia), dkk
Penyunting      :  Ridwan Fauzy dan Yuni Mulyawati
Penerbit           :  Dar! Mizan
Tahun              :  Edisi II, Cetakan I, Maret 2017
Tebal               :  168 halaman
ISBN               :  978-602-420- 166-1

            Tak bisa dipungkiri bahwa imajinasi anak-anak begitu luas dan tak terbatas. Buku serial KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) hadir, menjadi wadah dari imajinasi dan kreatifitas mereka. Penulis cilik yang pertama kali mengusung lahirnya serial KKPK adalah Sri Izzati, yang akhirnya diikuti oleh penulis-penulis cilik lainnya.
            Saat penulis-penulis cilik itu kini beranjak remaja, nama-nama baru bermunculan menghadirkan ide-ide baru yang terus menyemarakkan serial buku KKPK. Istimewanya, penulis-penulis baru itu semula hanya menjadi pembaca buku anak.
            Tentunya serial buku KKPK kini sudah tak asing lagi di tengah anak-anak Indonesia. Cerita-cerita baru serial ini selalu dinantikan kehadirannya di toko buku untuk menjadi teman bacaan sekaligus koleksi di rak buku mereka. Bahkan beberapa judul buku pun mengalami cetak ulang karena terus dicari oleh penggemar ciliknya. Salah satunya adalah buku serial KKPK Luks berjudul Magic Cookies.
            Keistimewaan dari serial KKPK Luks Magic Cookies adalah berisi cerpen-cerpen yang merupakan hasil seleksi dari 71 karya peserta pelatihan penulisan KKPK di Bandung dan Jakarta. 20 cerita yang terseleksi tentu saja merupakan cerita-cerita yang asyik dengan ide menakjubkan. Tak mengherankan apabila buku ini terus menerus dicetak ulang dan berganti edisi cover sampai sekarang.
            Seperti salah satunya adalah cerita tentang seorang anak bernama Alifia Cookies yang suka sekali memakan kue. Tapi sayangnya, ia tak pernah membantu ibunya membuat kue. Kesukanya hanya makan dan makan menghabiskan kue-kue buatan ibunya. Suatu saat, ia memakan kue ajaib dan terdampar di negeri kue (halaman 43).
            Awalnya Alifia merasa senang berada di dunia ajaib negeri kue, dimana kue yang selalu dilahapnya tak pernah habis. Namun lama-lama, ia menjadi bosan, dan ingin kembali ke dunia aslinya. Ia ingin kembali bertemu dengan ibu.
            Ternyata tak semudah itu untuk kembali. Ibu Peri penyuka brownies memberi syarat pada Alifia untuk membuat sebuah rumah cookies. Pekerjaan yang tidak mudah dilakukan seorang diri. Tentu Alifia terpaksa berlelah-lelah untuk membuatnya. Dari situ Alifia sadar, kalau ibunya pasti kelelahan untuk menyiapkan kue-kue yang setiap hari selalu dihabiskannya. (halaman 46).
            Selain ide ceritanya yang luar biasa, cerita ini mengandung pesan sederhana yang dapat dipetik oleh pembacanya. Bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, diperlukan adanya usaha untuk menggapainya.
            Cerita lainnya dengan ide unik adalah kisah tentang doa yang buruk. Bercerita tentang seorang anak laki-laki bernama Adolf yang tidak menyukai teman sekelasnya yang sombong dan jahil. Suatu kali, anak jahil itu mendorong tubuh Adolf sampai kepalanya terbentur pintu loker. Tentu saja Adolf yang merasa kesakitan menjadi marah. Ia mendoakan sesuatu yang buruk pada teman jahilnya itu.
            Namun saat pelajaran agama, Adolf membaca buku agama tentang doa di sebuah paragraf,  Jika kamu mendoakan sesuatu yang baik, Malaikat akan mengaminkan, lalu berkata, “Dan bagimu juga!” Begitu juga sebaliknya (halaman 99). Adolf yang tadi sudah sempat mendoakan sesuatu yang buruk pada temannya, menjadi resah. Adolf tak ingin doanya akan kembali pada dirinya.
            Saat hendak mencari temannya untuk meminta maaf, ternyata doanya terkabul. Sesuatu menabraknya, persis seperti isi doa untuk temannya itu. Rasa marah di hati Adolf membuat ia lupa dan kembali menggerutu, “Awas, ya. Aku doakan kamu jadi katak!” (halaman 100).
Lalu mungkinkan Adolf ikut berubah menjadi katak?
            Cerita itu menunjukkan imajinasi penulis cilik yang patut diapresiasi. Selain itu, pesan yang terselip di dalamnya cukup dalam. Penulis ingin mengajak teman-teman pembacanya agar tidak memelihara dendam di dalam hati.   
            Masih ada 18 cerita asyik lainnya yang sayang untuk dilewatkan. Tentunya, selain menghibur cerita-cerita itu bisa menginspirasi anak-anak Indonesia agar gemar membaca dan lebih semangat untuk berkarya.